RSS
RAN ALTURA GRADUATE

Selasa, 08 Januari 2013

Larangan Meminta-minta


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hadits Larangan Meminta-minta[1]
حَدِيْثُ حَكِيْمِ ابْنِ حِزَامٍ رَضِيَ الله عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلّم، قَالَ :           (اليَدُالعُلْيَاخَيْرٌمِنَ اليَدِالسُفْلَى، وَابْدَأْبِمَنْ تَعُوْلُ، وَخَيْرُالصَّدَقَةِعَنْ ظَهْرِغِنًى، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ) أخرجه البخارى فى : ۲٤- كتاب الزكاة : ۱۸- باب لاصدقة إلاعن ظهرغنى
Hakiem bin Hizam r.a. berkata: Nabi saw. bersabda: Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah dan mulailah dengan orang yang menjadi tanggunganmu. Sebaik-baik sedekah ialah yang dilakukan dalam keadaan berkemampuan dan barang siapa yang memelihara dirinya daripada meminta-minta, nescaya Allah akan memelihara kehormatannya; dan barang siapa yang merasa berkemampuan, nescaya Allah akan memberinya kecukupan.” (Muttafaq ‘alaih)
حَدِيْثُ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّم : (لَأَنْ يَحْتَتِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةًعَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌمِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًافَيُعْطِيَهُ أَوْيَمْنَعَهُ)    أخرجه البخارى فى : ۳٤- كتاب البيوع : ۱۵- باب كسب الرجل و عمله بيد       
Abuhurairah r.a. berkata: Rasulullah saw. bersabda: Jika seorang itu pergi mencari kayu, lalu diangkat seikat kayu di atas punggungnya (yakni untuk dijual di pasar) maka itu lebih baik baginya daripada minta kepada seseorang baik diberi atau ditolak. (Bukhari, Muslim)”.
2.2 Makna Hadis
Rasulullah (s.a.w) mengutamakan tangan yang memberi di atas tangan yang meminta dan memerintahkan orang yang membelanjakan hartanya supaya memulainya untuk diri sendiri, kemudian anak dan isterinya, lalu untuk keluarga dan kaum kerabatnya yang paling dekat. Dari satu sisi Nabi (s.a.w) menganjurkan para hartawan untuk menyedekahkan sebahagian hartanya yang tidak dia perlukan, tetapi dari sisi yang lain pula baginda menganjurkan kaum fakir miskin menahan diri daripada meminta-minta untuk memelihara kehormatan mereka. Baginda menjelaskan kepada mereka bahawa barang siapa yang meminta kehormatan dan kemuliaan kepada Allah, nescaya Allah akan memberinya jalan untuk meraihnya. Barang siapa yang mencari jalan agar dia tidak meminta-minta kepada orang lain, nescaya Allah akan membukakan jalan kepadanya dan menganugerahkan kepadanya penyebab-penyebab yangmenjadikannya berkemampuan, memperoleh kehormatan, dan kemuliaan.[2]
2.3 Analisis Lafaz
اليَدُالعُلْيَا"”, maksudnya ialah tangan orang yang memberi sedekah. Ini mengikut pendapat yang paling kuat, kerana Nabi (s.a.w) sendiri yang mentafsirkannya. Menurut pendapat lain, maksudnya ialah tangan yang tidak mahu menerima. Menurut pendapat yang lain lagi, maksudnya ialah tangan yang menerima tanpa meminta-minta.
خَيْر, lebih utama. Lafaz ini berkedudukan sebagai khabar dan lafaz “اليَدُ” yang berkedudukan sebagai mubtada’, sedangkan lafaz “العُلْيَا  ” berkedudukan sebagai sifat kepada lafaz “اليَد
مِنَ اليَدِالسُفْلَى”, menurut pendapat yang paling kuat adalah “tangan yang menerima”. Pendapat yang lain menyatakan “tangan yang tidak mahu memberi.” Menurut pendapat yang lain lagi, “tangan yang meminta.”
 “وَابْدَأْبِمَنْ تَعُوْلُ”, mulailah memberikan sedekahmu kepada orang yang wajib engkau nafkahi. Oleh itu, janganlah engkau menyia-nyiakan mereka dan jangan pula mengutamakan orang lain ke atas mereka.
وَخَيْرُالصَّدَقَةِعَنْ ظَهْرِغِنًى"” sedekah yang paling utama ialah sedekah yang dikeluarkan oleh seseorang dari hartanya setelah menyisakan untuk keperluannya sendiri, agar kehidupannya tetap berjalan dengan baik dan memberinya kecukupan hingga tidak perlu meminta-minta kepada orang lain, kerana orang yang menyedekahkan seluruh harta miliknya sering kali menyesali perbuatannya pada saat tidak ada gunanya lagi untuk penyesalan. Lafaz “ظهر” ditambahkan ke dalam kalimat ini untuk mengukuhkan makna dan memberikan keluasan pengertian. Sabda Nabi (s.a.w): “عَنْ ظَهْرِغِنًى” bermaksud “غِنًى عَنْ” (dalam keadaan berkemampuan).
وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ"”, barang siapa yang memelihara kehormatan dengan menjauhi perbuatan meminta-minta dan menerima apa adanya, nescaya Allah akan memberinya rezeki berupa kehormatan dan dapat menahan diri daripada perbuatan haram.
وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ"”, barang siapa yang memperlihatkan sikap berkemampuan dengan cara tidak mengharapkan harta orang lain, nescaya Allah memberinya rezeki berupa sifat qana’ah di dalam hatinya dan berkemampuan hingga tidak memerlukan bantuan orang lain.[3]
2.4 Fiqh Hadis
1.      Dianjurkan untuk berinfak.
2.      Keutamaan tangan yang memberi di atas tangan yang meminta.
3.      Celaan terhadap perbuatan meminta-minta dan peringatan supaya tidak melakukan perbuatan hina itu.
4.      Dianjurkan bersedekah kepada kaum kerabat dan bersilaturahim.
5.       Hartawan dianjurkan untuk bersedekah.
6.      Sedekah yang paling utama ialah apabila seseorang sentiasa dalam keadaan berkemampuan setelah mengeluarkan sedekahnya, tanpa memerlukan bantuan orang lain setelah bersedekah.
7.      Orang miskin dianjurkan untuk memelihara kehormatannya dan tidak meminta-minta kepada orang lain serta bertawakal yang penuh keyakinan kepada Allah (s.w.t).[4]


2.5  Penjelasan Larangan Meminta-minta
Mengemis atau meminta-minta di-istilahkan dengan bahasa Arab sebagai “tasawwul ” Dalam Al- Mu’jamul Wasith disebutkan  :
“Tasawwala  (bentuk fi’il madhy  dari  tasawwul)  artinya  meminta-minta  atau  meminta pemberian ”.[5] Tasawwul  atau  meminta-minta  yang  dicela  adalah  meminta  harta  orang  lain  untuk kepentingan sendiri atau pribadi.                                         Al-Allamah Abdur Rauf Al-Munawi  Rahimahullah berkata: “Sabda beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam (Sesungguhnya meminta-minta) maksudnya adalah menuntut dari manusia agar mereka memberikan sebagian harta mereka untuk dirinya ”.[6]                                                                                                               Al-Allamah  Muqbil  Al-Wadi’i Rahimahullah juga  menerangkan  batasan  tasawwul  dalam  kitab Dzammul Mas’alah (Tercelanya Meminta-Minta):“Kelompok kedua (dari orang yang buruk  dalam  penggunaan  harta): adalah  kaum  yang berusaha mencuri untuk mengambil harta zakat padahal mereka bukanlah golongan yang berhak  menerimanya. Kemudian  harta  itu  mereka  gunakan  untuk  kepentingan  pribadi mereka”.[7]                                                         Mengemis atau  tasawwul juga bisa diartikan dengan upaya  meminta harta orang lain bukan  untuk  kemaslahatan  agama  melainkan  untuk  kepentingan  pribadi. Al-Hafizh  Ibnu Hajar Rahimahullah berkata: “Perkataan  Al-Bukhari (Bab Menjaga Diri dari Meminta-minta) maksudnya adalah  meminta-minta sesuatu selain untuk kemaslahatan agama ”.[8]                                                                                     Dari keterangan di atas kita bisa mengambil pelajaran bahwa batasan  tasawwul atau “mengemis”  adalah  meminta  untuk  kepentingan  diri sendiri bukan  untuk  kemaslahatan agama.
2.      Meminta Untuk Kepentingan Kaum Muslimin

Jika  seseorang  meminta  harta  untuk  disalurkan kepada  orang  yang  membutuhkan atau  meminta  bantuan  untuk  kepentingan  kaum  muslimin  -bukan  untuk  kepentingan  diri sendiri- maka dia tidak termasuk orang yang tasawwul walaupun dia adalah orang kaya.
Di antara pesan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada para pemimpin perang ketika sebelum berangkat adalah perkataan beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam:
“ Jika mereka (orang-orang  kafir  yang  diperangi,  pen)  tidak  mau  masuk  Islam  maka mintalah Al-Jizyah dari mereka! Jika mereka memberikannya maka terimalah dan tahanlah dari (memerangi, pen)  mereka! Jika  mereka  tidak  mau  menyerahkan  Al-Jizyah  maka mintalah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka!” (HR. Muslim: 3261, Abu Dawud: 2245, Ibnu Majah: 2849)
Al-Mulla Ali Al-Qari  Rahimahullah berkata: “(Maka  mintalah  dari mereka) dengan Hamzah dan perpindahannya (dalam I’lal, pen) maksudnya adalah mohonlah dari mereka Al-Jizyah ” (Mirqatul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih: 12/71)
Maka dari hadits di atas kita dapat mengambil pelajaran bahwa  meminta Al-Jizyah dari orang-orang  kafir     tidak  termasuk  tasawwul  karena  Al-Jizyah  bukan  untuk  kepentingan pribadi tetapi untuk kaum muslimin.
Al-Allamah Asy-Syinqithi  Rahimahullah berkata: “ Jika Al-Jizyah  telah  diambil  (dan  diletakkan)  ke  baitul  mal  kaum  muslimin, maka  penulis Zadul Mustaqni’ menjelaskan bahwa Al-Jizyah  diperuntukkan  pada  pos-pos  umum  kaum muslimin, sebagaimana yang telah kami sebutkan ” (Syarh Zadul Mustaqni’: pertemuan ke-138 halaman: 14)
Termasuk  dalam  pengertian  meminta  bantuan  untuk  kepentingan  kaum  muslimin adalah perkataan Dzulqarnain: “ Dzulqarnain  berkata: “Apa  yang  telah  dikuasakan  oleh  Rabbku  kepadaku  terhadapnya adalah  lebih  baik, maka  bantulah  aku  dengan  kekuatan,  agar  aku  membuatkan  dinding antara kalian dan mereka ”  (QS. Al-Kahfi: 95)
Al-Allamah Asy-Syaukani  Rahimahullah berkata:
“(Maka  bantulah  aku  dengan  kekuatan)  maksudnya  dengan  tenaga  laki-laki kalian  yang bekerja dengan tenaga mereka, atau bantulah aku dengan alat-alat bangunan atau dengan kedua-duanya ” (Fathul Qadir: 4/426)
Dzulqarnain  tidak  bisa  dikatakan  telah  melakukan  tasawwul  atau  mengemis  –sebagaimana  Kaidah  jahil  Si  Abul  Husain-  karena  dia  meminta  bantuan  bukan  untuk kepentingan pribadi.
Yang semisal perkataan Dzulqarnain adalah perkataan Abu Bakar Ash-ShiddiqRadhiyallaahu ‘anhu ketika beliau dibaiat menjadi khalifah. Beliau berkata:  “Amma ba’du Wahai manusia! Sesungguhnya aku menjadi pemimpin kalian dan aku bukanlah orang yang terbaik di atara kalian. Maka jika aku benar  maka bantulah aku! Dan jika aku berbuat salah maka luruskanlah aku!” (Al-Bidayah wan Nihayah: 5/269) Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam juga pernah meminta bantuan seorang tukang kayu untuk membuatkan beliau mimbar Sahl bin Sa’d As-sa’idi Radhiyallaahu ‘anhu berkata: “ Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus kepada seorang wanita: “ Perintahkan anakmu yang tukang kayu itu untuk membuatkan untukku sebuah mimbar sehingga aku bisa duduk di atasnya!” (HR. Al-Bukhari: 429, An-Nasa’i 731 dan Ahmad 21801)
Al-Imam Al-Bukhari  Rahimahullah berkata: “Bab : Meminta bantuan kepada tukang kayu dan ahli pertukangan lainnya untuk membuat kayu-kayu mimbar dan masjid ” (Shahihul Bukhari: 2/235)
Al-Imam Ibnu Baththal  Rahimahullah berkata: “Di dalam hadits ini terdapat pelajaran tentang  bolehnya  meminta  bantuan  kepada  ahli pertukangan dan ahli kekayaan untuk segala hal yang manfaatnya meliputi kaum muslimin. Dan orang-orang yang bersegera melakukannya adalah disyukuri usahanya ” (Syarh Ibnu Baththal lil Bukhari: 2/100)
Sehingga  kita  boleh  mengatakan: “ Bantulah aku membangun masjid ini atau madrasah ini dan sebagainya!”  atau  meminta  sumbangan  kepada  kaum  muslimin  yang mampu untuk membangun masjid, madrasah dan sebagainya.
2.6  Contoh Fenomena Masa Kini
            Fatwa Apakah Boleh meminta minta untuk membangun masjid?                              Al-Lajnah Ad- Daimah lil Buhuts wal Ifta’ Saudi Arabiyyah pernah ditanya: Tanya “ Bolehkah meminta bantuan dari seorang muslim untuk membangun masjid atau madrasah, apa dalilnya?” Jawab “ Perkara tersebut diperbolehkan, karena termasuk dalam tolong -menolong di atas kebaikan  dan  taqwa. Allah Subhaanahu wa ta’ala berfirman:“ Dan tolong-menolonglah  kalian  dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran ” (QS. Al-Maidah: 2) [9]                            Memang pada itinya boleh meminta kalo untuk kepentingan umat Islam tapi dengan cara yang baik dan sopan, tidak memungut bantuan di tengah jalan atau di dalam bis kotas eperti yang sering kita saksikan di sekitar kita. Hal seperti itu malah akan dapat menjatuhkan martabat umat Islam sendiri.


[1] Hadits nomor 613 dan 618 dari kitab Lu’lu wal Marjan
[2] Ibanatul Ahkam jilid 2 halaman 260
[3] Ibanatul Ahkam jilid 2 halaman 260
[4] Ibanatul Ahkam jilid 2 halaman 261
[5] Al-Mu’jamul Wasith: 1/465
[6] Faidhul Qadir: 2/493
[7] Dzammul Mas’alah: 31
[8] Fathul Bari: 3/336
[9] Sumber : E-book “Memerangi (yayasan)Salafi, Membela & Memuliakan si Pencuri Manhajnya Siapa?” Hal.82-89 ditulis oleh Abdullah bin Abdurrahman

Prinsip dan Karakteristik Hukum Islam

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Prinsip-prinsip Hukum Islam
A.    Tidak meyulitkan (‘adamul kharaj). Yang disebut dengan tidak menyulitkan adalah hukum Islam itu tidak sempit, sesak, tidak memaksa dan tidak memberatkan. Di antara cara meniadakan kesulitan itu, ada beberapa bentuk :
1.      Pengguguran kewajiban, yaitu dalam keadaan tertentu kewajiban ditiadakan seperti gugurnya kewajiban shalat jum’at dan gugurnya kewajiban puasa di bulan Ramadhan bagi orang yang sedang dalam perjalanan atau sakit.
2.      Pengurangan kadar yang telah ditentukan, seperti qashar shalat dari yang jumlahnya empat rakaat menjadi dua rakaat, yaitu shalat Dzuhur, Ashar, dan Isya’.
3.      Penukaran, yaitu penukaran satu kewajiban dengan yang lain, seperti wudhu atau mandi besar ditukar dengan tayammum, atau menukar kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan dengan hari lain bagi orang yang mempunyai halangan puasa Ramadhan.
4.      Mendahulukan, yaitu mengerjakan suatu kewajiban sebelum waktunya hadir seperti shalat jama’ taqdim, shalat Ashar yang dilaksanakan pada waktu Dzuhur, melaksanakan shalat Isya pada waktu shalat magrib.
5.      Menangguhkan atau mengtakhirkan kewajiban yaitu mengerjakan suatu kewajiban setelah waktunya tidak ada seperti shalat jama’ takhir, mengerjakan shalat Dzuhur di waktu shalat Ashar atau mengerjakan shalat Magrib di waktu shalat Isya.
6.      Mengubah dengan bentuk lain, seperti merubah perbuatan shalat dengan shalat khauf karena alasan keamanan, atau mengganti kewajiban puasa bagi orang yang sudah tidak kuat lagi puasa dengan membayar fidyah.
B.     Menyedikitkan beban (taqlil at-takalif), yaitu dengan menyedikitkan tuntutan Alloh untuk berbuat, mengerjakan perintahNya dan menjauhi laranganNya.
C.     Berangsur-angsur (tadrij). Hukum islam dibentuk secara gradual, tidak sekaligus. Diantara hukum islam yang diturunkan secara gradual adalah riba, pertama hanya dikatakan sebagai perbuatan tercela (Qs.al-Rum: 39),[1] kemudian riba yang dilarang adalah yang berlipat ganda (Qs. Ali imron: 130)[2] terakhir dikatakan hukum secara mutlak (Qs. Al-Baqoroh: 275, 278),[3] Demikian juga dalam pelarangan minuman keras, awalnya hanya dikatakan bahwa mudharatnya lebih besar dari manfaatnya (Qs. Al-Baqoroh: 219),[4] kemudian larangan untuk mendekati shalat dalam keadaan mabuk (Qs. an-Nisa: 43),[5] dan terkhir diharamkan secara mutlak bahkan dikatakan sebagai perbuatan syetan (al-Maidah: 90).[6]
D.    Universal, syari’at Islam meliputti seluruh alam tanpa ada batas wilayah, suku, ras, bangsa, dan bahasa. Keuniversalan ini pula tergambar dari sifat hokum Islam yang tidak hanya terpaku pada satu masa saja (abad ke-VII saja, misalnya), tetapi untuk semua zaman. Hukum Islam menghimpun segala sudut dari segi yang berbeda-beda di dalam suatu kesatuan, dan ia akan senantiasa cocok dengan masyarakat yang menghendaki tradisi lama ataupun modern, seperti halnya ia dapat melayani para ahl aql dan ahl naql, ahl al-ra’y atau ahl al-hadis.[7]
E.     Menegakkan Keadilan. Keadilan dalam arti perimbangan atau keadaan seimbang (mauzun) antonimnya ketidakadilan, kerncuan (at-tanasub), persamaan (musawah), tidak diskriminatif, egaliter, penunaian hak sesuai dengan kewajiban yang diemban ( keadilan distributif), serta keadilan Alloh yaitu kemurahanNya dalam melimpahkan rahmatNya kepada manusia sesuai dengan tingkat kesediaan yang dimilikinya.



2.2  Karakteristik Hukum Islam
            Hukum Islam mempunyai watak tertentu dan beberapa karakteristik yang membedaannya dengan berbagai macam hukum yang lain. Karakteristik tersebut ada yang memang berasal dari watak hukum itu sendiri dan ada pula yang berasal dari proses penerapan dalam lintasan sejarah menuju ridho Alloh. Dalam hal ini, beberapa karakteristik hokum Islam bersifat sempurna, universal, kemanusiaan, mengandung moral agama, dan dinamis, akan dijelaskan dalam bagian ini.
A.    Sempurna, artinya syari’at itu akan selalu sesuai dengan segala situasi dan kondisi manusia, dimanapun dan kapanpun, baik sendiri maupun berkelompok. Hal ini didasarkan bahwa syari’at Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dan hanya garis besar permasalahannya saja, sehingga hukum-hukumnya bersifat tetap meskipun zaman dan tempat selalu berubah.penetapan hokum yang bersifat global oleh al-Qur’an tersebut dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada umat manusia untuk melakukan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi ruang dan waktu.[8]
B.     Elastic, dinamis fleksibel, dan tidak kaku. Karena hukum Islam merupakan syari’at yang universal dan sempurna, maka tak dapat dipungkiri pula kesempurnaan ini membuatnya bersifat elastis, fleksibel dan dinamis dalam perkembangan zaman, karena jika hukum Islam menjadi sesuatu yang kaku justru akan menjadikannya tak relevan pada masa atau ruang tertentu. Bila syari’at diyakini sebagai sesuatu yang baku dan tidak pernah berubah, maka fiqih menjembatani antara sesuatu yang baku (syari’at) dan sesuatu yang relative dan terus berubah tersebut (ruang dan waktu).[9] Syari’at Islam hanya memberikan kaidah dan patokan dasar yang umum dan global. Perinciannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan manusia, dan dapat berlaku dan diterima oleh seluruh manusia. Dengan ini pula, dapat dilihat bahwa hukum Islam mempunyai daya gerak dan hidup yang dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan, melalui suatu proses yang disebut ijtihad. Dalam ijtihad yang menjadi hak bagi setiap muslim untuk melakukannya merupakan prinsip gerak dalam Islam yang akan mengarahkan Islam kepada suatu perkembangan yang bersifat aktif, produktif serta konstruktif.[10]
C.     Sistematis, artinya antara satu doktrin dengan doktrin yang lain bertautan, bertalian dan berhubungan satu sama lain secara logis. Kelogisan ini terlihat dari beberapa ayat dalam al-Qur’an yang selalu menghubungkan antara satu institusi dengan institusi yang lain. Selain itu, syari’at Islam yang mendorong umatnya untk beribadah di satu sisi, tetapi juga tidak melarang umatnya untuk mengurusi kehidupan duniawi.[11]
D.    Bersifat Ta’abuddi dan ta’aquli. Warna syari’at Islam dapat dibedakan dengan dua warna: yaitu ta’abuddi bentuk ibadah yang fungsi utamanya untuk mendekatkan manusia kepada Alloh (وما خلقت الجنّ و الإنس إلاّ ليعبد و ن). Bentuk ibadah seperti ini sudah given, taken from granted, makna yang terkandung di dalamnya tidak dapat dinalar, irrasional, seperti jumlah rakaat shalat. Sedangkan yang ta’aqulli adalah bersifat duniawi yang maknanya dapat difahami oleh nalar manusia dan rasional.
E.     Menegakkan Maslahat, karena semua hukum harus bertumpu pada maslahat dan dasar dari semua kaidah yang dikembangan dari seluruh hukum Islam harus bersimpul pada maslahat. Syariat berurusan dengan perlindungan maslahat, entah dengan cara yang positif, misalnya dengan tindakan untuk menopang mashalih, syariat mengambil tindakan untuk menopang landasan-landasan mashalih tersebut. Atau dengan cara preventif, yaitu untuk mencegah hilangnya mashalih, ia mengambil tidakan-tindakan untuk melenyapkan unsure apa pun yang secara aktual atau potensial merusak mashalih.[12]



DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddiqi Hasbi, Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1976, cet. II.
Coulson Noel J, The History of Islamic Law. Edinburgh University Press, 1964
Djamil Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Imu, 1997
Masud Muhammad Khalid, Filsafat Hukum Islam. Penerjemah Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1996
Mubarok Jaih, Pengembangan Hukum Islam, Bandung: PT Rosdakarya, 2000
Musa Muhammad Yusuf, Al-Islam wa Hajat al-Inzan Ilaihi. Bandung: Pustaka, 1996
Saleh Juhaya, Praja, Dinamika Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002.
Schacht Joseph, An Introduction to Islamic Law. Oxford: Clarendon, 1964
Schacht Joseph, Pengantar Hukum Islam. Penerjemah Joko Supomo. Yogyakarta: Islamika, 2003
Sopyan Yayan, Tarikh Tasyri’. Depok: Gramata Publishing, 2010
















[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7] Hasbi ash-Shiddiqi, Falsafah Hukum Islam, h. 105-106.
[8] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Imu, 1997), h. 46.
[9] Muhammad Yusuf Musa, Al-Islam wa Hajat al-Inzan Ilaihi, h. 172.
[10] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, h. 48.
[11] Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam. Penerjemah Joko Supomo, (Yogyakarta: Islamika, 2003), h. 300
[12] Pendapat ini disandur oleh Muhammad Khalid Mas’uddari pendapat al-Syatibi. Lihat, Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum Islam. Penerjemah Ahsin Muhammad. (Bandung: Pustaka, 1996), h. 244. 

Takhrij Hadits part 3






b.      Unsur Sanad
 Unsur sanad dari semua periwayat adalah Marfu’ dan Muttashil.
c.       Unsur Matan
Matan hadist di atas merupakan bentuk ucapan Sahabat Nabi, yang merupakan sebuah peluang bagi setiap muslim yang ingin mendapati keistimewaan pada bulan puasa sebagaimana yang telah Nabi Muhammad SAW sabdakan.
F.      Jenis Hadis
a.       Dari segi jumlah rawi, hadis diatas merupakan Hadis Ahad.
b.      Dari segi matan, hadis di atas berbentuk Anjuran pada Sunah Fi’liyah.
c.       Dari segi idhafat matannya, termasuk hadis Marfu’ (disandarkan kepada Nabi)
d.      Dari segi persambungan sanad hadis tersebut termasuk hadis Muttasil.
G.    Kualitas Hadis
Hadis di atas berkualitas shahih lidzatihi, karena hadits-hadits tersebut sesuai dengan syarat-syarat hadits shahih. Dan kami kuatkan dengan riyadus Shalihin hal.479 bab.Fadilah Puasa Ramadhan
  عن ابي هريرة رضي الله عنه ان رسول الله صلى الله عليه
 وسلم قال: من صام رمضان ايمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه . منفق عليه.


H.    Tathbiq Hadits
Hadits-hadits tentang fadhilah dan keutamaan puasa dibulan Ramadhan adalah berupa penyemangat kepada setiap muslim untuk bersemangat dalam menunaikan ibadah puasa di bulan ramadhan dalam rangka meningkatkan kualitas amaliyah dalam beribadah yang telah nabi ajarkan dan tentu baik untuk dilaksanakan dan insyaAllah perbuatan puasa seperti itu di sukai oleh Allah SWT, karena dalam ukuran Keimanan dan pengharapan atas ke Ridhoan-Nya. Hadits  di atas maqbul lafadz dan maknanya jelas, tegas, mudah dipahami, tidak tanakud dan ta’arud serta tidak ada kesulitan dalam mengamalkannya, maka hadits-hadits tersebut di atas adalah hadits Maqbul Ma’mul bih.
I.        Pelajaran
Dari beberapa penjelasan hadits-hadits di atas, dilihat dari sanad, matan rawi dan beberapa hal yang munasabah dengan masalah ini yaitu tentang fadhilah mengerjakan atau melaksanakan puasa itu InsyaAllah termasuk kategori perbuatan yang di sukai oleh Allah, dan akan dijamin atas kesalahan dan Dosanya untuk di Ampuni oleh Allah SWT.  Maka khulashah dari hadits-hadits tersebut adalah berupa penyemangat (الاءنحماس). Oleh karena itu setiap umat muslim diharapkan agar senantiasa berpuasa dengan niat yang tulus, baik, dan juga didasari dengan keimanan yang mantap, serta penuh dengan mengharap Ridho Allah SWT.

J.       Simpulan
Dari beberapa proses takhrij yang kami laksanan akhirnya kami dapat menyimpulkan bahwa :
Ø  Hukumnya. Adalah merupakan hadits yang Shahih.
Ø  Perawi-perawinya. Adil, sanadnya bersambung, dan Sampai kepada Nabi SAW.
Ø  Hujjiayahnya. Boleh digunakan.
Maka dari itu hukun hadits ini berisi sebuah seruan penyemangat kepada setiap muslim agar senantiasa bersemangat dalam menunaikan ibadah puasa dibulan ramadhan, dengan jaminan  pahala atau ganjaran yang akan Allah berikan kepada Umat-Nya yang senantiasa melaksanakan puasa dengan penuh keimanan dan benar-benar mengharap atas Keridhoan Allah semata.
Demikianlah studi penelitian yang telah kami laksanakan dan tentunya masih jauh dari kesempurnaan, kami berharap agar maklum adanya, terimakasih.

                                                                                                              
(( الحمد لله رب العا لمين ))


Daftar Pustaka

Kitab Sunan Abu Dawud                                                       
Kitab Sunan Ibnu Hiban.
Kitab Sunan Ad-Darami.
Kitab Sunan At-Tirmidzi.
Kitab Sunan Ibnu Majah.
Kitab shahih Ibnu Khuzaimah
Kitab Riyadus Sholihin
Kitab Dzurrotun Nashihin
Kitab Ibanatul Ahkam