BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hadits Larangan Meminta-minta[1]
حَدِيْثُ حَكِيْمِ ابْنِ
حِزَامٍ رَضِيَ الله عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلّم، قَالَ : (اليَدُالعُلْيَاخَيْرٌمِنَ اليَدِالسُفْلَى،
وَابْدَأْبِمَنْ تَعُوْلُ، وَخَيْرُالصَّدَقَةِعَنْ ظَهْرِغِنًى، وَمَنْ
يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ) أخرجه البخارى
فى : ۲٤- كتاب الزكاة : ۱۸- باب لاصدقة إلاعن ظهرغنى
“Hakiem bin Hizam r.a. berkata: Nabi saw. bersabda: Tangan
di atas lebih baik daripada tangan di bawah dan mulailah dengan orang yang
menjadi tanggunganmu. Sebaik-baik sedekah ialah yang dilakukan dalam keadaan
berkemampuan dan barang siapa yang memelihara dirinya daripada meminta-minta,
nescaya Allah akan memelihara kehormatannya; dan barang siapa yang merasa
berkemampuan, nescaya Allah akan memberinya kecukupan.” (Muttafaq ‘alaih)
حَدِيْثُ
أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ
عَلَيْهِ وَ سَلَّم : (لَأَنْ يَحْتَتِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةًعَلَى ظَهْرِهِ
خَيْرٌمِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًافَيُعْطِيَهُ أَوْيَمْنَعَهُ) أخرجه
البخارى فى : ۳٤-
كتاب البيوع : ۱۵-
باب كسب الرجل و عمله بيد
“Abuhurairah r.a. berkata: Rasulullah saw.
bersabda: Jika seorang itu pergi mencari kayu, lalu diangkat seikat kayu di
atas punggungnya (yakni untuk dijual di pasar) maka itu lebih baik baginya
daripada minta kepada seseorang baik diberi atau ditolak. (Bukhari, Muslim)”.
2.2 Makna Hadis
Rasulullah (s.a.w) mengutamakan tangan
yang memberi di atas tangan yang meminta dan memerintahkan orang yang
membelanjakan hartanya supaya memulainya untuk diri sendiri, kemudian anak dan
isterinya, lalu untuk keluarga dan kaum kerabatnya yang paling dekat. Dari satu
sisi Nabi (s.a.w) menganjurkan para hartawan untuk menyedekahkan sebahagian
hartanya yang tidak dia perlukan, tetapi dari sisi yang lain pula baginda
menganjurkan kaum fakir miskin menahan diri daripada meminta-minta untuk
memelihara kehormatan mereka. Baginda menjelaskan kepada mereka bahawa barang
siapa yang meminta kehormatan dan kemuliaan kepada Allah, nescaya Allah akan
memberinya jalan untuk meraihnya. Barang siapa yang mencari jalan agar dia
tidak meminta-minta kepada orang lain, nescaya Allah akan membukakan jalan
kepadanya dan menganugerahkan kepadanya penyebab-penyebab yangmenjadikannya
berkemampuan, memperoleh kehormatan, dan kemuliaan.[2]
2.3 Analisis Lafaz
اليَدُالعُلْيَا"”, maksudnya ialah tangan orang yang memberi sedekah. Ini
mengikut pendapat yang
paling kuat, kerana Nabi (s.a.w) sendiri yang mentafsirkannya. Menurut pendapat lain, maksudnya
ialah tangan yang tidak mahu menerima. Menurut pendapat yang lain lagi, maksudnya ialah tangan yang
menerima tanpa meminta-minta.
“خَيْر”, lebih utama. Lafaz ini berkedudukan sebagai khabar dan
lafaz “اليَدُ” yang berkedudukan sebagai mubtada’,
sedangkan lafaz “العُلْيَا ” berkedudukan sebagai sifat kepada
lafaz “اليَد ”
“مِنَ اليَدِالسُفْلَى”, menurut pendapat yang paling kuat adalah “tangan yang menerima”.
Pendapat yang lain menyatakan “tangan yang tidak mahu memberi.” Menurut
pendapat yang lain lagi, “tangan yang meminta.”
“وَابْدَأْبِمَنْ
تَعُوْلُ”, mulailah memberikan
sedekahmu kepada orang yang wajib engkau nafkahi. Oleh itu, janganlah engkau
menyia-nyiakan mereka dan jangan pula mengutamakan orang lain ke atas mereka.
وَخَيْرُالصَّدَقَةِعَنْ ظَهْرِغِنًى"” sedekah yang paling utama ialah sedekah
yang dikeluarkan oleh seseorang dari hartanya setelah menyisakan untuk
keperluannya sendiri, agar kehidupannya tetap berjalan dengan baik dan
memberinya kecukupan hingga tidak perlu meminta-minta kepada orang lain, kerana
orang yang menyedekahkan seluruh harta miliknya sering kali menyesali
perbuatannya pada saat tidak ada gunanya lagi untuk penyesalan. Lafaz “ظهر” ditambahkan ke dalam kalimat ini untuk mengukuhkan makna dan
memberikan keluasan pengertian. Sabda Nabi (s.a.w): “عَنْ ظَهْرِغِنًى” bermaksud “غِنًى عَنْ”
(dalam keadaan berkemampuan).
وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ"”, barang siapa yang memelihara kehormatan
dengan menjauhi perbuatan meminta-minta dan menerima apa adanya, nescaya Allah akan
memberinya rezeki berupa kehormatan dan dapat menahan diri daripada perbuatan
haram.
وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ"”, barang siapa yang memperlihatkan sikap
berkemampuan dengan cara tidak mengharapkan harta orang lain, nescaya Allah
memberinya rezeki berupa sifat qana’ah di dalam hatinya dan berkemampuan hingga
tidak memerlukan bantuan orang lain.[3]
2.4 Fiqh Hadis
1. Dianjurkan untuk berinfak.
2. Keutamaan tangan yang memberi di atas tangan yang meminta.
3. Celaan terhadap perbuatan meminta-minta dan peringatan supaya
tidak melakukan perbuatan hina itu.
4. Dianjurkan bersedekah kepada kaum kerabat dan bersilaturahim.
5. Hartawan dianjurkan untuk
bersedekah.
6. Sedekah yang paling utama ialah apabila seseorang sentiasa dalam
keadaan berkemampuan setelah mengeluarkan sedekahnya, tanpa memerlukan
bantuan orang lain setelah bersedekah.
7. Orang miskin dianjurkan untuk memelihara kehormatannya dan tidak
meminta-minta kepada orang lain serta bertawakal yang penuh keyakinan kepada
Allah (s.w.t).[4]
2.5
Penjelasan Larangan Meminta-minta
Mengemis atau meminta-minta
di-istilahkan dengan bahasa Arab sebagai “tasawwul ” Dalam Al- Mu’jamul Wasith
disebutkan :
“Tasawwala
(bentuk fi’il madhy dari tasawwul) artinya
meminta-minta atau meminta pemberian ”.[5] Tasawwul
atau meminta-minta yang dicela adalah meminta
harta orang lain untuk kepentingan sendiri atau pribadi. Al-Allamah Abdur Rauf Al-Munawi Rahimahullah berkata:
“Sabda beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam (Sesungguhnya
meminta-minta) maksudnya adalah menuntut dari manusia agar mereka memberikan
sebagian harta mereka untuk dirinya ”.[6]
Al-Allamah Muqbil Al-Wadi’i Rahimahullah juga
menerangkan batasan tasawwul dalam kitab Dzammul
Mas’alah (Tercelanya Meminta-Minta):“Kelompok kedua (dari orang yang
buruk dalam penggunaan harta): adalah kaum yang
berusaha mencuri untuk mengambil harta zakat padahal mereka bukanlah golongan
yang berhak menerimanya. Kemudian harta itu
mereka gunakan untuk kepentingan pribadi mereka”.[7] Mengemis
atau tasawwul juga bisa diartikan dengan upaya meminta harta orang
lain bukan untuk kemaslahatan agama melainkan
untuk kepentingan pribadi. Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah berkata:
“Perkataan Al-Bukhari (Bab Menjaga Diri dari Meminta-minta) maksudnya
adalah meminta-minta sesuatu selain untuk kemaslahatan agama ”.[8] Dari keterangan di atas
kita bisa mengambil pelajaran bahwa batasan tasawwul atau
“mengemis” adalah meminta untuk kepentingan diri
sendiri bukan untuk kemaslahatan agama.
2. Meminta
Untuk Kepentingan Kaum Muslimin
Jika seseorang meminta harta
untuk disalurkan kepada orang yang membutuhkan
atau meminta bantuan untuk kepentingan kaum
muslimin -bukan untuk kepentingan diri sendiri- maka
dia tidak termasuk orang yang tasawwul walaupun dia adalah orang kaya.
Di antara pesan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam kepada para pemimpin perang ketika sebelum berangkat adalah
perkataan beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam:
“ Jika mereka (orang-orang kafir yang
diperangi, pen) tidak mau masuk Islam maka
mintalah Al-Jizyah dari mereka! Jika mereka memberikannya maka terimalah dan
tahanlah dari (memerangi, pen) mereka! Jika mereka
tidak mau menyerahkan Al-Jizyah maka mintalah
pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka!” (HR. Muslim: 3261, Abu Dawud:
2245, Ibnu Majah: 2849)
Al-Mulla
Ali Al-Qari Rahimahullah berkata: “(Maka
mintalah dari mereka) dengan Hamzah dan perpindahannya (dalam I’lal, pen)
maksudnya adalah mohonlah dari mereka Al-Jizyah ” (Mirqatul Mafatih Syarh
Misykatil Mashabih: 12/71)
Maka dari hadits di atas kita dapat mengambil pelajaran
bahwa meminta Al-Jizyah dari orang-orang
kafir tidak termasuk tasawwul
karena Al-Jizyah bukan untuk kepentingan pribadi tetapi
untuk kaum muslimin.
Al-Allamah
Asy-Syinqithi Rahimahullah berkata: “ Jika
Al-Jizyah telah diambil (dan diletakkan) ke
baitul mal kaum muslimin, maka penulis Zadul Mustaqni’
menjelaskan bahwa Al-Jizyah diperuntukkan pada pos-pos
umum kaum muslimin, sebagaimana yang telah kami sebutkan ” (Syarh Zadul
Mustaqni’: pertemuan ke-138 halaman: 14)
Termasuk dalam pengertian meminta
bantuan untuk kepentingan kaum muslimin adalah
perkataan Dzulqarnain: “ Dzulqarnain berkata: “Apa yang
telah dikuasakan oleh Rabbku kepadaku terhadapnya
adalah lebih baik, maka bantulah aku dengan
kekuatan, agar aku membuatkan dinding antara kalian dan
mereka ” (QS. Al-Kahfi: 95)
Al-Allamah Asy-Syaukani Rahimahullah berkata:
“(Maka
bantulah aku dengan kekuatan) maksudnya
dengan tenaga laki-laki kalian yang bekerja dengan tenaga
mereka, atau bantulah aku dengan alat-alat bangunan atau dengan kedua-duanya ” (Fathul
Qadir: 4/426)
Dzulqarnain tidak bisa dikatakan
telah melakukan tasawwul atau mengemis
–sebagaimana Kaidah jahil Si Abul Husain-
karena dia meminta bantuan bukan untuk
kepentingan pribadi.
Yang semisal perkataan Dzulqarnain adalah perkataan Abu
Bakar Ash-ShiddiqRadhiyallaahu ‘anhu ketika beliau dibaiat menjadi
khalifah. Beliau berkata: “Amma ba’du
Wahai manusia! Sesungguhnya aku menjadi pemimpin kalian dan aku bukanlah orang
yang terbaik di atara kalian. Maka jika aku benar maka bantulah aku! Dan
jika aku berbuat salah maka luruskanlah aku!” (Al-Bidayah wan Nihayah: 5/269) Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam juga pernah meminta bantuan seorang tukang kayu untuk
membuatkan beliau mimbar Sahl bin Sa’d As-sa’idi Radhiyallaahu ‘anhu berkata:
“ Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus
kepada seorang wanita: “ Perintahkan anakmu yang tukang kayu itu untuk
membuatkan untukku sebuah mimbar sehingga aku bisa duduk di atasnya!” (HR.
Al-Bukhari: 429, An-Nasa’i 731 dan Ahmad 21801)
Al-Imam Al-Bukhari Rahimahullah berkata:
“Bab : Meminta bantuan kepada tukang kayu dan ahli pertukangan lainnya untuk
membuat kayu-kayu mimbar dan masjid ” (Shahihul Bukhari: 2/235)
Al-Imam Ibnu Baththal Rahimahullah berkata:
“Di dalam hadits ini terdapat pelajaran tentang bolehnya
meminta bantuan kepada ahli pertukangan dan ahli kekayaan
untuk segala hal yang manfaatnya meliputi kaum muslimin. Dan orang-orang yang
bersegera melakukannya adalah disyukuri usahanya ” (Syarh Ibnu Baththal lil
Bukhari: 2/100)
Sehingga kita boleh mengatakan: “ Bantulah
aku membangun masjid ini atau madrasah ini dan sebagainya!” atau
meminta sumbangan kepada kaum muslimin yang mampu
untuk membangun masjid, madrasah dan sebagainya.
2.6
Contoh Fenomena Masa Kini
Fatwa Apakah Boleh
meminta minta untuk membangun masjid? Al-Lajnah
Ad- Daimah lil Buhuts wal Ifta’ Saudi Arabiyyah pernah ditanya: Tanya “
Bolehkah meminta bantuan dari seorang muslim untuk membangun masjid atau
madrasah, apa dalilnya?” Jawab “ Perkara tersebut diperbolehkan, karena
termasuk dalam tolong -menolong di atas kebaikan dan taqwa. Allah
Subhaanahu wa ta’ala berfirman:“ Dan tolong-menolonglah kalian
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran ” (QS. Al-Maidah: 2) [9] Memang pada itinya
boleh meminta kalo untuk kepentingan umat Islam tapi dengan cara yang baik dan
sopan, tidak memungut bantuan di tengah jalan atau di dalam bis kotas eperti
yang sering kita saksikan di sekitar kita. Hal seperti itu malah akan dapat
menjatuhkan martabat umat Islam sendiri.
[1]
Hadits nomor 613 dan 618 dari kitab Lu’lu wal Marjan
[2]
Ibanatul Ahkam jilid 2 halaman 260
[3]
Ibanatul Ahkam jilid 2 halaman 260
[4]
Ibanatul Ahkam jilid 2 halaman 261
[5]
Al-Mu’jamul Wasith: 1/465
[6]
Faidhul Qadir: 2/493
[7]
Dzammul Mas’alah: 31
[8]
Fathul Bari: 3/336
[9]
Sumber : E-book “Memerangi (yayasan)Salafi, Membela & Memuliakan si Pencuri
Manhajnya Siapa?” Hal.82-89 ditulis oleh Abdullah bin Abdurrahman